Sabtu, 06 Februari 2016

Tentang hujan yang menolak berhenti di Kota ini



Hujan malam itu seperti menolak berhenti, terus membasahi jalan di kota ini. Ditemani secangkir kopi aku terus menatap jalan yang penuh hiruk pikuk dan mulai terlihat genangan di berbagai sisi. Sesekali nampak orang berjalan keluar dari stasiun, kemudian menghampiri bapak supir becak yang masih mengais rezeki di tengah deru hujan yang lebat ini. semoga berkah ya pak..

Di sisi kiri saya berdiri hotel megah yang dahulu adalah pabrik sari petojo, kontras dengan tempat saya duduk sekarang untuk melepas penat. Wedangan sederhana yang hanya menyuguhkan nasi kucing beserta lauk pauknya dan kehangatan wedang jahenya.

Kota ini selalu spesial. meskipun banyak hati dipatahkan dikota ini, banyak perasaan yang tak terungkapkan  dan banyak jiwa terkekang oleh pekerjaan. Bagi saya keramahan kota ini masih sangat terasa, ribuan kenangan terpatri disini..bagi kamu yang tinggal disini syahdunya duduk berdua di ngarsopuro dan sejuknya taman balekambang pasti tak terelakkan.
 
Juga beraneka wisata kuliner di Galabo tak akan membuatmu bosan mencicipi makanan khas kota ini. Dan jangan lupakan event event semacam Solo International Performing Arts (SIPA), Festival Jenang, Solo Keroncong festival dan aneka hiburan lainnya yang hanya ada di kota ini.

untuk Kota Solo ku yang mulai macet ini tapi tetap nyaman untuk dihuni dan untuk kamu yang saat ini sedang sering kudoakan setiap hari, mungkin lirik lagu ini bisa mewakili


“hadapi keras kota ini, hiruk pikuknya terasa sunyi

Namun sapaanmu tetap indah, mengikis amarah meluluhkan gundah”

-The Rain-

Ketika melihat social media hanya berisi keluhan, makian, dan pamer kelebihan. melihat hujan yang sedang menolak berhenti di depan stasiun purwosari adalah penawar letih paling seksi.