Inzaghi adalah "unlikely hero" bagi sebuah tim sepakbola.
Dirinya bukan pemain dengan talenta tinggi layaknya Kaka, atau penuh
determinasi fisik semacam Genarro Gattuso, dua rekannya di AC Milan.
Johan Cruyff pernah berujar jika Filippo Inzaghi sama sekali tidak
memiliki bekal untuk bermain bola. Pendapat Cruyff mungkin ada benarnya
ketika salah satu staf pelatih di Tim Nasional Italia berujar bahwa
dirinya terkejut ketika melihat Inzaghi berlatih bersama timnas. Bekal
teknik Inzaghi jauh dari standar. Anehnya, dengan segudang pendapat
tentang kualitas Inzaghi, Pippo masih sanggup berkibar di kancah elit
sepakbola Eropa, dengan memperkuat dua tim besar asal Italia, Juventus
dan AC Milan. Koleksi gol-nya bahkan membanggakan. Jika tidak terkena
cedera, bukan tidak mungkin Pippo mencetak gol double-digit
seperti musim-musim sebelumnya. Dengan kondisinya yang baru prima di
akhir musim, Pippo mecetak sejumlah gol penting bagi Milan dan Italia.
Mungkin, "gol penting" itulah yang perlu dibawahi dalam aksi-aksi Pippo yang tidak dikaruniai dengan teknik sempurna, serta fisik sempurna. Dirinya selalu bisa menjadi "the right man in the right place". Sekedar penyegar, tahun lalu dua gol Pippo hadir di saat Milan membutuhkan kemenangan melawan Lyon di perempat final Liga Champions. Atau ketika dirinya memastikan langkah Italia di Piala Dunia lalu ketika melawan Republik Ceko, dengan mencetak gol kedua Italia. Gol-gol Pippo tidak indah, tapi krusial. Dan dalam format sepakbola modern yang menghamba tinggi ke hasil, bukannya proses, Inzaghi adalah figur yang sangat penting. Tidak perlu bermain indah, tetapi menjawab dengan gol yang sah. Inzaghi adalah maskot bagi keberuntungan sebuah tim.
Posisi Inzaghi sebagai striker memang jauh dari kriteria ideal seorang pemain depan. Bagi sepakbola klasik ala Amerika Latin, seorang penyerang adalah mereka yang mempunyai skill dan teknik terbaik. Muncullah nama-nama Leonidas, Alfredo Di Stefano, Pele sampai era Ronaldo atau Lionel Messi saat ini. Sebaliknya, bagi kamus sepakbola ortodoks di Inggris dan Jerman, seorang penyerang adalah tipikal bomber seperti Gerd Muller, sang asal muasal nama "bomber", atau bahkan Duncan Ferguson. Tinggi, kuat, sadis dan oportunis di kotak pinalti lawan. Inzaghi bukan keduanya. Bomber kelahiran Piacenza, 9 Agustus 1973 tersebut "hanya" mempunyai tinggi badan 181 cm ditunjang postur kerempeng. Lari sprint-nya juga tidak cepat, dan bukan rahasia umum bila kondisi fisik Super Pippo - julukannya - tidak mampu bertahan dengan stabil selama 90 menit. Pendek kata, Pippo jauh dari kriteria ideal bagi seorang striker skillful atau model bomber.
Seorang juara adalah mereka yang mengubah kekurangan menjadi keberuntungan. Tanpa bakat dan fisik yang mendukung - bekal utama pemain sepakbola - Pippo mengembangkan sendiri sepakbolanya, yaitu sepakbola psikologis. Kakak pesepkabola Simone Inzaghi terebut akan mengembangkan perlawanan terhadap lawannya secara psikologis. Ketika berebut bola udara, misalnya, alih-alih beradu lompatan, Pippo akan mencoba memanfaatkan celah jika si pemain lawan salah dalam mengantisipasi. Hal itu akan memberikan tekanan bagi pemain lawan untuk selalu sempurna dan tidak mengijinkan adanya kesalahan sekecil mungkin, ketika Inzaghi di sekitarnya. Atau trademark Pippo yang selalu bermain-main dengan posisi offside, tentu akan membuat lawan dan penjaga garis mati-matian fokus untuk memperhatikan dirinya. Hal itu kadang menimbulkan kelelahan psikis bagi lawan (dan juga penjaga garis), ketika menit demi menit beradu. Akibatnya, entah itu lawan akan membuka ruang bagi rekan setim Inzaghi atau malah kecolongan oleh Pippo sendiri. Dan hal itu akan fatal. Gol kedua di final Liga Champions lalu membuktikan. Jamie Carragher, bek Liverpool yang dihadapi Inzaghi di final lalu berujar bahwa dirinya lelah karena harus mengamati pergerakan Inzaghi, hingga pada akhirnya tidak sempurna memasang jebakan offside yang berujung ke gol kedua.
Gaya Pippo tersebut melahirkan sejumlah "kecaman" dari pesepakbola lawan. Rata-rata "musuh" Pippo berposisi sebagai bek. Jaap Stam, yang notabene mantan rekan Inzaghi juga mengaku sebal terhadap gaya Pippo ketika pertandingan Manchester United (eks klub Stam) melawan Juventus beberapa tahun lalu. Stam terprovokasi secara psikologis untuk sangat berhati-hati dengan Pippo di seputar kotak penalti sehingga sulit baginya menyatu dengan permainan. "Musuh" lain dari Inzaghi adalah hakim garis dan wasit. Biasanya seorang hakim garis akan lebih waspada ketika permainan melibatkan Pippo. Tetapi Inzaghi juga pantang menyerah. Mungkin Pippo tidak akan ragu untuk menempuh 30 kali percobaan offside, demi lolos sekali yang sudah cukup untuknya mencetak gol!
Mereka yang sinis akan selalu berpedoman bahwa Pippo sangat mengandalkan keberuntungan. Tetapi secara positif, Inzaghi memang melatih dirinya untuk membuat keberuntungan itu datang kepadanya. Hal itu menjadi penting ketika menghadapi situasi dimana sejumlah pertandingan akan ditentukan oleh gol yang tercetak. Dirinya sadar tidak memiliki bakat sebesar Kaka, dan tidak berbekal kondisi fisik yang mendukungnya untuk bersaing dengan para raksasa model Jaap Stam. Inzaghi melatih kecerdikan dan kegesitan yang diperlukan untuk menyiasati offside. Dirinya juga mengembangkan naluri dan intuisi untuk mengetahui arah jatuh bola atau bola mental. Bahkan dirinya juga berlatih bersama rekan setimnya untuk sekedar menjadi pembelok arah bola, seperti pada gol pertamanya di final Liga Champions lalu. Media mengklaim itu keberuntungan, tetapi Pippo menyangkalnya. Menurutnya, itu adalah hasil latihan yang dikembangkan bersama Andrea Pirlo, si penembak bola.
Golnya ke gawang Liverpool di akhir babak pertama final Liga Champions 2007, yang diklaim sebagai keberuntungan oleh media Inggris, bisa saja tidak akan terjadi jika pemain Liverpool melihat jejak rekam Inzaghi sebelumnya, yang banyak beredar di situs semacam You Tube. Termasuk di pertandingan melawan Empoli dan Inter Milan musim sebelumnya. Kejadiannya persis. Tendangan bebas yang diarahkan ke tiang jauh, kemudian dibelokkan ke tiang dekat yang mengecoh kiper. Pelakunya? Sama! Andrea Pirlo menendang, Inzaghi memantulkan.
Kini, Filippo Inzaghi berusia 33 tahun. Setelah mengembangkan karirnya dari Piacenza, Parma dan Atalanta, rasanya hampir mustahil baginya untuk hanya mengandalkan keberuntungan selama rentang 10 tahun karirnya di dua klub besar Italia, Juventus dan Milan. Selama total15 tahun karir sebagai pebola, Inzaghi menghasilkan lebih dari 150 gol, beberapa diantaranya adalah gol penting yang menentukan kemenangan. Dan sebagian besar juga dicetak dengan cara "biasa" seperti bola pantul, gawang kosong, dan gol-gol semodel dua golnya di final Liga Champions lalu. Sulit dipercaya rasanya jika dirinya hanya mengandalkan keberuntungan untuk melewati tahun demi tahun dalam profesinya sebagai pesepakbola.
Mungkin, "gol penting" itulah yang perlu dibawahi dalam aksi-aksi Pippo yang tidak dikaruniai dengan teknik sempurna, serta fisik sempurna. Dirinya selalu bisa menjadi "the right man in the right place". Sekedar penyegar, tahun lalu dua gol Pippo hadir di saat Milan membutuhkan kemenangan melawan Lyon di perempat final Liga Champions. Atau ketika dirinya memastikan langkah Italia di Piala Dunia lalu ketika melawan Republik Ceko, dengan mencetak gol kedua Italia. Gol-gol Pippo tidak indah, tapi krusial. Dan dalam format sepakbola modern yang menghamba tinggi ke hasil, bukannya proses, Inzaghi adalah figur yang sangat penting. Tidak perlu bermain indah, tetapi menjawab dengan gol yang sah. Inzaghi adalah maskot bagi keberuntungan sebuah tim.
Posisi Inzaghi sebagai striker memang jauh dari kriteria ideal seorang pemain depan. Bagi sepakbola klasik ala Amerika Latin, seorang penyerang adalah mereka yang mempunyai skill dan teknik terbaik. Muncullah nama-nama Leonidas, Alfredo Di Stefano, Pele sampai era Ronaldo atau Lionel Messi saat ini. Sebaliknya, bagi kamus sepakbola ortodoks di Inggris dan Jerman, seorang penyerang adalah tipikal bomber seperti Gerd Muller, sang asal muasal nama "bomber", atau bahkan Duncan Ferguson. Tinggi, kuat, sadis dan oportunis di kotak pinalti lawan. Inzaghi bukan keduanya. Bomber kelahiran Piacenza, 9 Agustus 1973 tersebut "hanya" mempunyai tinggi badan 181 cm ditunjang postur kerempeng. Lari sprint-nya juga tidak cepat, dan bukan rahasia umum bila kondisi fisik Super Pippo - julukannya - tidak mampu bertahan dengan stabil selama 90 menit. Pendek kata, Pippo jauh dari kriteria ideal bagi seorang striker skillful atau model bomber.
Seorang juara adalah mereka yang mengubah kekurangan menjadi keberuntungan. Tanpa bakat dan fisik yang mendukung - bekal utama pemain sepakbola - Pippo mengembangkan sendiri sepakbolanya, yaitu sepakbola psikologis. Kakak pesepkabola Simone Inzaghi terebut akan mengembangkan perlawanan terhadap lawannya secara psikologis. Ketika berebut bola udara, misalnya, alih-alih beradu lompatan, Pippo akan mencoba memanfaatkan celah jika si pemain lawan salah dalam mengantisipasi. Hal itu akan memberikan tekanan bagi pemain lawan untuk selalu sempurna dan tidak mengijinkan adanya kesalahan sekecil mungkin, ketika Inzaghi di sekitarnya. Atau trademark Pippo yang selalu bermain-main dengan posisi offside, tentu akan membuat lawan dan penjaga garis mati-matian fokus untuk memperhatikan dirinya. Hal itu kadang menimbulkan kelelahan psikis bagi lawan (dan juga penjaga garis), ketika menit demi menit beradu. Akibatnya, entah itu lawan akan membuka ruang bagi rekan setim Inzaghi atau malah kecolongan oleh Pippo sendiri. Dan hal itu akan fatal. Gol kedua di final Liga Champions lalu membuktikan. Jamie Carragher, bek Liverpool yang dihadapi Inzaghi di final lalu berujar bahwa dirinya lelah karena harus mengamati pergerakan Inzaghi, hingga pada akhirnya tidak sempurna memasang jebakan offside yang berujung ke gol kedua.
Gaya Pippo tersebut melahirkan sejumlah "kecaman" dari pesepakbola lawan. Rata-rata "musuh" Pippo berposisi sebagai bek. Jaap Stam, yang notabene mantan rekan Inzaghi juga mengaku sebal terhadap gaya Pippo ketika pertandingan Manchester United (eks klub Stam) melawan Juventus beberapa tahun lalu. Stam terprovokasi secara psikologis untuk sangat berhati-hati dengan Pippo di seputar kotak penalti sehingga sulit baginya menyatu dengan permainan. "Musuh" lain dari Inzaghi adalah hakim garis dan wasit. Biasanya seorang hakim garis akan lebih waspada ketika permainan melibatkan Pippo. Tetapi Inzaghi juga pantang menyerah. Mungkin Pippo tidak akan ragu untuk menempuh 30 kali percobaan offside, demi lolos sekali yang sudah cukup untuknya mencetak gol!
Mereka yang sinis akan selalu berpedoman bahwa Pippo sangat mengandalkan keberuntungan. Tetapi secara positif, Inzaghi memang melatih dirinya untuk membuat keberuntungan itu datang kepadanya. Hal itu menjadi penting ketika menghadapi situasi dimana sejumlah pertandingan akan ditentukan oleh gol yang tercetak. Dirinya sadar tidak memiliki bakat sebesar Kaka, dan tidak berbekal kondisi fisik yang mendukungnya untuk bersaing dengan para raksasa model Jaap Stam. Inzaghi melatih kecerdikan dan kegesitan yang diperlukan untuk menyiasati offside. Dirinya juga mengembangkan naluri dan intuisi untuk mengetahui arah jatuh bola atau bola mental. Bahkan dirinya juga berlatih bersama rekan setimnya untuk sekedar menjadi pembelok arah bola, seperti pada gol pertamanya di final Liga Champions lalu. Media mengklaim itu keberuntungan, tetapi Pippo menyangkalnya. Menurutnya, itu adalah hasil latihan yang dikembangkan bersama Andrea Pirlo, si penembak bola.
Golnya ke gawang Liverpool di akhir babak pertama final Liga Champions 2007, yang diklaim sebagai keberuntungan oleh media Inggris, bisa saja tidak akan terjadi jika pemain Liverpool melihat jejak rekam Inzaghi sebelumnya, yang banyak beredar di situs semacam You Tube. Termasuk di pertandingan melawan Empoli dan Inter Milan musim sebelumnya. Kejadiannya persis. Tendangan bebas yang diarahkan ke tiang jauh, kemudian dibelokkan ke tiang dekat yang mengecoh kiper. Pelakunya? Sama! Andrea Pirlo menendang, Inzaghi memantulkan.
Kini, Filippo Inzaghi berusia 33 tahun. Setelah mengembangkan karirnya dari Piacenza, Parma dan Atalanta, rasanya hampir mustahil baginya untuk hanya mengandalkan keberuntungan selama rentang 10 tahun karirnya di dua klub besar Italia, Juventus dan Milan. Selama total15 tahun karir sebagai pebola, Inzaghi menghasilkan lebih dari 150 gol, beberapa diantaranya adalah gol penting yang menentukan kemenangan. Dan sebagian besar juga dicetak dengan cara "biasa" seperti bola pantul, gawang kosong, dan gol-gol semodel dua golnya di final Liga Champions lalu. Sulit dipercaya rasanya jika dirinya hanya mengandalkan keberuntungan untuk melewati tahun demi tahun dalam profesinya sebagai pesepakbola.
Petuah kuno berkata: keberuntungan tidak akan datang tiga kali dengan
cara yang sama. Beberapa orang mungkin memang sengaja memancing agar
keberuntungan itu datang kepadanya. Sama seperti pemain poker yang terus
melatih trik-trik psikologis untuk memenangkan perang mental dengan
lawannya. Poker adalah permainan kartu yang sangat mengandalkan
keberuntungan. Tapi para juara poker terus melatih apa yang mereka bisa
agar keberuntungan bisa mendekat mereka. Sama halnya dengan sepakbola.
Pepatah bahwa bola itu bulat turut menegaskan besarnya faktor "luck"
dalam permainan terpopuler sejagad ini. Apabila kita mau memandang
positif, Filippo Inzaghi sebetulnya hanya memandang sepakbola dari
kacamata yang berbeda dengan kebanyakan. Dan orang istimewa adalah orang
yang bisa melihat apa yang orang lain tidak mampu melihat.
"thanks Pippo" Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar